Sunday, September 13, 2015

Tanggung Jawab

Jika banyak pepatah bilang, hidup dimulai setelah kita keluar dari zona nyaman, itu betul tidak? Zona nyamanku ada di kampus. Tinggal sebagai mahasiswa arkeologi yang punya mimpi-mimpi untuk berpetualang seperti Indiana Jones. Tapi setelah lulus, apakah aku udah keluar dari zona nyaman itu?

Belum juga. Wong kemudian belum ada setahun lulus aku kembali mendaftarkan diri sekolah. Naik tingkat mencoba menjadi master, tapi masih dengan predikat yang sama seperti sebelumnya, mahasiswa.

Berarti, aku masih saja di zona nyaman. Apakah ini berarti aku tidak keluar sama sekali?
Belakangan ini, di kepala selalu kepikiran. Dengan titel sarjana sastra tapi bukan menulis sama sekali keahliannya, melainkan tukang gali tanah.

Ada ketakutan, ada ketidak puasan. Ada rasa ngeri membayangkan. Apalagi semakin sering berinteraksi dengan banyak orang dan mengerjakan berbagai pekerjaan, rasanya titel arkeolog itu seperti mimpi saja.

Aku ingin jadi arkeolog sejati. Tapi, tetap harus kembali ke realita berkutat dengan administrasi dan birokrasi yang membuat kita sulit untuk bergerak. Mau ini itu. Mimpi ini itu. Semua ada batasannya. Seperti zona nyaman itu tadi. Sebuah zona, ya, pasti ada batasnya. Nyaman pun pasti terbatas. Hidup susah pun harus ditinggalkan karena manusia bergerak terus.

Life isn't pretty, though. Banyak hal yang mengecewakan. Berharap itu tidak boleh. Bermimpi mungkin sekarang lebih banyak yang dikuburkan daripada yang diusahakan. Entah mengapa, aku dan teman-teman lain jadi generasi pesimis. Seolah menyandang titel dan bekerja sebagai arkeolog itu hanya akan jadi jalan buntu tanpa arah, tanpa uang, tanpa masa depan.

Apa betul seperti itu?

Kalo gitu, jika aku memulai menata ulang impianku tentang menjadi arkeolog--tidak terlambat bukan? Aku ingin sukses jadi arkeolog, untuk bertanggung jawab pada pilihan pertama dalam hidupku yang kutentukan sendiri. Tanpa campur tangan orang tua. Tanpa campur tangan orang lain. Ketika aku memilih jurusan arkeologi sebagai pilihan pertamaku di universitas, maka itulah tanggung jawab yang harus kubuktikan kepada ibuku, ayah, dan kakak-kakakku. Hidupku bisa bahagia dengan pilihan yang kuambil.

Baiklah. Mari kita ulang lagi kebanggaan kita. Dari awal.

Saturday, August 16, 2014

The Last Paradise in Earth

Sebetulnya agak super telat kalo menulis cerita ini, tapi teramat sayang kalo kisah ini cuman dibiarkan teronggok di sudut kenangan dalam kepala saja. Aku selalu merasa menjadi seseorang yang diberkahi keberuntungan luar biasa oleh Tuhan. Dan berkah keberuntungan itu kerap membawaku berpetualang ke tempat-tempat baru. Dengan sedikit keberuntungan, kali ini aku melakukan perjalanan semahal menjelajah benua Eropa sana, yaitu pergi menuju Raja Ampat--most people said it is last paradise in earth.

Katanya ini naik haji, kalo buat para penyelam. Bisa datang ke tempat yang selama ini cuman bisa jadi angan belaka buat orang-orang di tanah jawa. Raja Ampat kadang kala seperti sebuah mitos--layaknya kita berbincang tentang surga. Tempat eksotis--katanya, dive spot terindah--katanya, tempat wisata luar biasa seperti halnya surga--katanya. Dan perjalanan kali ini bertujuan untuk membuktikan semua yang katanya orang-orang itu bilang.



Jadi bagian dari tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional membuatku dapat melakukan perjalanan menuju 'surga' itu hanya dengan bermodal isi otak saja. Penelitian kali ini bertujuan untuk mencari potensi tinggalan arkeologis di wilayah Kepulauan Raja Ampat, Prov. Papua Barat. Lokasi penelitian ini berada di Distrik kepulauan Misool. Penelitian selama hampir seminggu di Misool ini sudah membuatku merasa seperti Indiana Jones. Tebing karang, hutan belantara, penjelajahan pulau-pulau kecil, 39 situs gambar cadas (rock art) yang tertoreh di tebing-tebing pulau karang, cave diving, susur gua, semua petualangan di alam liar itu benar-benar tak terlupakan. Sayang cuman kurang ketemu emas seberat 23 ton aja maka petualangan ini layak dijadikan film Indiana Jones dari Indonesia.


Misool memberikan kesan yang luar biasa. Melekat begitu dalam. Bukan hanya tentang lansekap alamnya yang luar biasa cantik. Tapi keramahan orang-orangnya juga. Pertama kali menginjakkan kaki di tanah Papua--wilayah paling timur dari Indonesia, membuatku separo semangat berada di tempat yang baru dan separonya takut karena stigma yang melekat dalam masyarakat selama ini membuat mereka yang berada di timur tampak seperti ter-alienasi oleh bangsanya sendiri.

Ada saat ketika gap budaya membuat adrenalin terpacu. Bahkan pakaian dalamku semapt dicuri berikut dengan sandal jepitku. Bertemu dengan pace-pace mabok di siang bolong. Tapi semau itu, entah mengapa tidak membuatku merasa negatif. Suasana tim bersama dengan orang-orang asli dari Misool yang menjadi pemandu kami membuat semua itu hanya sekedar peristiwa sambil lalu yang membuat tertawa jika mengingatnya lagi. Bersama Pak Muslim, Pak Amin, Pak Basri, Pak Korwa kami diaja menjelajahi kepulauan di Misool dengan speed boat. Dari tebing ke tebing, dari satu gua ke gua lainnya.

Semoga ada kesempatan lagi untuk mengunjungi mereka kapan-kapan!
Terima kasih Raja Ampat, untuk membiarkanku mencicipi sebuah surga di dunia. 

courtesy: Adhi Agus Oktivana, Ayu Dipta Kirana

Saturday, November 23, 2013

Gali Rumah?

Apa jadinya jika halaman rumah yang kamu idam-idamkan untuk segera ditinggali, kini justru malah berubah jadi labirin kotak galian? Kalau saya sih pasti pingsan di tempat. 

Anyway, itu pula yang jadi cerita seru kali ini. Saya bersama temen-temen arkeologi veteran (baca: pengangguran ceria) kali ini harus meng-ekskavasi halaman rumah orang untuk mencari candi di Desa Bedingin, Mlati, Cebongan, Sleman, Yogyakarta.

Asal mulanya berawal dari pembangunan rumah di daerah perumahan baru tersebut. Ketika mereka sedang membuat sumur resapan untuk pembuangan kotoran, ditemukan sebuah batu kotak-kota khas bangunan candi, serta sebuah batu berukir yang ternyata merupakan Makara. Temuan itu langsung dilaporkan ke BPCB Yogyakarta. Mereka pun bertindak cepat dan tim ekskavasi inipun dibentuk secara mendadak.

Akhirnya terkumpul para veteran arkeolog yang terlibat dalam penggalian ini. Ekskavasi bersama rekan seperjuang yang sama-sama lama menempuh waktu kuliah. Tentu saja ekskavasi ini kerasa begitu spesial dan hangat. Masing-masing sudah tau karakter satu sama lainnya sehingga tidak ada kesulitan untuk menjalin kerja tim. Suasana seru ini terus berlangsung hingga akhir kegiatan.

Ini merupakan kerja sama pertama ku dengan BPCB Yogyakarta. Akhirnya aku diberi kesempatan untuk bekerja sama dengan instansi ini. Tentu saja ada hal yang baru lagi yang dapat dipelajari. Aku jadi jauh lebih matang dalam teknis ekskavasi kali ini. Yang mengejutkan adalah atmosfir kerjanya yang super santai. Aku tidak begitu keberatan sih.

Ekskavasi kali ini merupakan penggalian untuk penyelamatan benda cagar budaya. Problem muncul karena sempitnya ruang gerak kami untuk mengupas tanah. Hal ini karena bangunan rumahnya sudah berdiri kokoh sehingga yang diharapkan untuk dapat menemukan sebuah struktur fondasi candi agak sulit. Tetapi, kami tetap beruntung karena berhasil menemukan sebuah lempeng emas dalam pecahan periuk. Bisa jadi pripih tetapi bukan pripih utama. Bisa jadi apa saja.

Penggalian kali ini membuatku merenungkan banyak hal. Kalau selama ini, di penggalian prasejarah, saya selalu terlibat pada death monument seperti halnya gua atau situs terbuka seperti Sangiran, penggalian di situs klasik kerap kali bersinggung dengan masyarakat masa kini. Entah tempat tinggal, universitas, sawah dan lain sebagainya. Kurasa ini jadi pengingat tersendiri bagi saya, bahwa apa yang kita agungkan sebagai sebuah penelitian harus berbenturan dengan banyaknya kepentingan. Saya sih merasa kita tidak boleh egois dengan mengatas namakan ilmu pengetahuan. Akan tetapi disatu sisi, idealisme sebagai peneliti pun tergelitik ingin mengetahui lebih dalam lagi.

Pada akhirnya, semua ini jadi bahan perenungan tersendiri. Dimanapun tempatnya. Se-menyebalkan, se-bosan apapun, se-bobrok apapun instansi tempat kita bekerja tetap disana adalah tempat kita untuk terus belajar dan menghasilkan karya.

 courtsey: Cak Cuk Riomandha
 courtsey: Cak Cuk Riomandha


Courtesy: Andi Putranto

Wednesday, August 28, 2013

Job Seeker

Jadi, bagaimana aku harus memulainya?

Kelulusan menjadi salah satu pengantarnya. Lepas dari institusi berjudul sekolahan tentu membuatku agak megap-megap. Setelah ini kemana? Tidak seperti halnya ketika masih berseragam, jalan hidup sudah dicetak sempurna tidak boleh berubah. Lulus SD harus daftar SMP, setelah itu lanjut SMA. Lulus sekolah menengah pun sudah tahu harus melanjutkan ke universitas bukannya bekerja.

Setelah pendadaran, kondisi kaki setelah patah tulang tidak memungkinkan untuk mengurus wisuda di bulan Februari sehingga kuputuskan untuk mengikuti wisuda di periode bulan Mei. Rentang waktu Januari (bulan pendadaran) hingga wisuda tentunya cukup panjang. Hampir 5 bulan. Dengan ketakutan bakalan jadi pengangguran, akhirnya aku menyabet apa saja tawaran yang mampir padaku. Salah satunya adalah pekerjaan di Museum Sonobudoyo ini.

Diantara pekerjaan multi-tasking lainnya, proyek di museum ini memberikan kesan mendalam. Bukan hanya karena jenis pekerjaannya, tapi juga orang-orangnya. Mungkin inilah cermin dari sistem birokrasi kepegawaian negeri di Indonesia. Melihat kondisi museum, aku hanya dapat tersenyum geli sekaligus prihatin.

Sejujurnya, aku cukup menyukai pekerjaan selama hampir 4 bulan lebih ini. Mungkin bekerja di museum tidak memiliki gengsi tinggi seperti halnya mengerjakan event seminar internasional. Tapi, jenis pekerjaan ini membuatku ingin belajar dan mencari tahu mengenai budaya. Atau hal-hal kecil lainnya.

Tapi semuanya masing-masing memiliki sisi terang dan gelapnya. Adanya yang menyenangkan adapula yang mengkhawatirkan. Aku takut hidupku stagnan ketika menjadi pegawai negeri biasa. Tapi ada keinginan tersendiri untuk terjun di dalam bidang permuseuman terutama di Sonobudoyo ini.

Well, life starts here, doesn't?

Lanjuuuuuut Gan!

Setelah melalui proses yang cukup dilematis dengan keadaan blog ini--antara ingin dilanjutkan atau tidak, akhirnya saya putuskan untuk terus berlayar berwahana blog ini. Mungkin dalam perjalanan nanti, judul 'Archeology Diaries' tidak lagi relevan. Bisa jadi karena aku sendiri tidak akan menjadi seorang arkeolog yang sah memiliki sebutan tersebut. 

Apapun. Saya pikir jalan yang sudah dilalui hampir 7 tahun ini kurasa akan sangat sayang bila ditinggalkan begitu saja. Karena itu, hari-hari saya berikutnya. Catatan-catatan seorang sarjana arkeologi yang masih idealis rasanya sayang jika tidak dituliskan.

Banyak yang terjadi dalam kurun waktu 3 bulan setelah kelulusan. Masih menyangkut tentang dunia arkeologi dan, tentu saja, kegamangan saya yang bertumpuk di kepala. Saya sekarang sedang mengerjakan proyek di Museum Sonobudoyo dan keseruan disana sangat luar biasa hingga sayang apabila dilewatkan. 

So? 
Lanjuuuuuuuttttt Gan!

Sunday, June 9, 2013

Graduation

Tidak memungkiri, masa perkuliahanku sangat berkesan. Tahun-tahun yang dihabiskan kebanyakan merupakan gabungan otak akademis dan persahabatan yang menarik. Juga sedikit tentang cinta. Ketika pertama kali membuat blog ini, yaitu sekitar 7 tahun yang lalu--apa yang pertama kali kupikirkan? Bahwa buku harian kehidupanku di dunia arkeologi aku akan mengalami banyak sekali hal yang luar biasa. Aku tidak akan pernah membayangkan bahwa dunia ini mampu membawaku melakukan perjalanan yang luar biasa.

Aku lupa, dan nyaris melewatkan dua peristiwa bersejarah dalam blog ku ini. Yang pertama adalah saat aku pendadaran lalu yang kedua adalah ketika aku diwisuda.

Setelah 6 tahun 4 bulan masa studiku di jurusan arkeologi ini, aku menutup kenangan masa perkuliahanku denga indah.

Para sahabat-sahabat, yang telah berbagi tawa dan keseruan dalam petualangan ini, selalu hadir pada kedua momen tersebut. Padahal mereka sudah disibukan oleh pekerjaan dan keriuhan dunia nyata, namun masih sempat saja mereka hadir untuk memberikan tawa terbaik mereka padaku.

Aku hampir dapat mengingat semua waktu yang telah dilalui bersama selama ini. Welcome party, Abhiseka Ratri, jadi panitia Abhiseka Ratri, field trip, ekskavasi di Plaosan Kidul, jelajah sungai purba, kegiatan HIMA, seminar proposal, survei skripsi, road trip, pendadaran hingga wisuda. Semua cerita itu menjadi satu bagian sejarah terpenting dalam pembentuk diriku yang kini.

Kini, hidup bergerak cepat. Tibalah di persimpangan jalan. Termasuk juga blog ini yang masih bingung untuk dilanjutkan atau tidak. Sesuai namanya--buku harian arkeologi, aku belum dapat memutuskan menjadi arkeolog profesional atau tidak. Yang pasti, untuk semua petualangan berharga ini. Terima kasih arkeologi :)

Sunday, January 13, 2013

Killing Field

Minggu depan, sekitar antara hari selasa atau rabu adalah hari pembantai. It's killing field dan aku akan mati disana. Namun aku akan memilih mati terhormat. Bukan cuma terpekur, menangis dan merasa jadi korban. Tapi aku merasa sakit hati atas satu setengah tahun yang panjang.

Beberapa saat ini rasanya memang tidak adil. Dan untung, sedikit keberuntungan aku akan tahu bagaimana rasanya maju dan mempersembahkan kepalaku untuk dipenggal. Aku maju untuk mati.
Dan apa yang ku pahami dan kini akan aku sesali adalah kompromi ku. Rupanya aku berkompromi untuk tetap mati. Tidak ada ide brilian yang dapat menyelamatkan diriku. Aku mati karena kesombonganku, berpikir bahwa diriku ini brilian.

Dari setiap pertanda yang Tuhan berikan pada ku, tetap aku melaju dengan kesombongan tak terkira. Namun karena aku tahu ini adalah sebuah kesalahan sejak dari awal maka aku akan mati demi mencari kebenaran itu.

Satu setengah tahun berkompromi selama ini rasanya sungguh menyakitkan. Tak terkira aku tidak dapat apa-apa. It sucks!

Bismillah...