Wednesday, April 13, 2011

Museum Adalah Alat

Pagi ini muncul berita yang bikin saya geram. Benda-benda cagar budaya akan dibawa keluar Indonesia sebagai koleksi dari Museum Kerinci yang didirikan di atas tanah negara Malaysia. Dan dengan dana dari Malaysia. Ada beberapa kejanggalan disini. Jika masalah dana--ok. Boleh saja kita mendapat bantuan dana dari pemerintah asing untuk membangun sebuah museum namun ketika bangunan itu akan berdiri di luar batas negara kita?

Apakah ini, lagi-lagi, suatu kegagalan pemerintah untuk menjaga kebudayaan materi dan historis bangsa? Jika meniliki alur yang jauh lebih panjang ke belakang--Indonesia memang masih memiliki rumpun melayu yang sama dengan Malaysia. Terlebih lagi bagi masyarakat di kepulauan Sumatera yang secara geografis berdekatan dengan Negeri Jiran tersebut. Tidak menyangkal pula bahwa pada masa lalu, dimana garis batas negara imajiner tersebut belum ada, masyarakat di seputaran selat Malaka memiliki akar kebudayaan yang hampir serupa. Baik adat istiadat, hasil kerajinan, bahasa dan lain sebagainya. Sehingga pun hingga sekarang Malaysia masih merasa kebudayaan tersebut juga mereka kebudayaan milik mereka. Ibaratnya, Indonesia dan Malaysia itu 2 sodara yang sekarang terpisah oleh garis batas arbiter penjajahan di awal abad ke-17 tersebut.

Namun--meski kebudayaan kita serupa namun tak sama, seharusnya ada penghormatan terhadap garis batas kenegaraan. Urusan ini memang tidak besar seperti pengambilan pulau Ambalat beberapa tahun silam. Namun jika pemerintah Indonesia tidak mampu melindungi BCB yang telah bergerak ke seberang lautan tersebut maka jangan salahkan deh kalau bahkan rakyatnya sendiri tidak percaya kalau Indonesia ini mampu jadi sebuah negara.

Alasannya, bagi yang tidak mengetahui, museum adalah alat politik. Jika berpikir Museum hanyalah sebagai wadah, sarana penyimpanan benda-benda kuno saja, maka sebaiknya anda ikut kuliah Museologi dan belajar lebih banyak lagi soal arkeologis--karena anda bego! Pada era kolonialisasi, pemerintah Hindia-Belanda banyak sekali membangun museum-museum di kota besar kala itu. Mereka akan membangun museum dengan peta yang besar, data etnografis berbagai suku di Indonesia dan sensus penduduk yang tinggal di dalamnya. Museum juga turut menyimpan berbagai macam artefak-artefak berharga--yang kini banyak diboyong ke Leiden. Pemerintah Hindia-Belanda membangun museum--selain sebagai pusat pembelajaran mengenai daerah jajahan mereka, juga sebagai legitimasi kekuasaan mereka terhadap Indonesia. Museum adalah alat politik mereka untuk menyatakan kepada negara-negara barat lainnya (Inggris, Prancis) bahwa mereka menguasai daerah tersebut. Maka pemerintah Hindia-Belanda merasa memiliki hak untuk memboyong kebudayaan Indonesia keluar dari garis batas negara. Namun masih tetap dalam negara yang sama (Pemerintahan Ratu Belanda dengan negara jajahan Hindia-Belanda).

Museum sebagai legitimasi kebudayaan. Maka, jika Malaysia membangun museum dengan kebudayaan Kerinci di negara Malaysia--yang berarti melewati garis batas negara bisa dikatakan kita tidak punya legitimasi atas kebudayaan tersebut. Meski pun apabila nanti pemerintah dijanjikan dibuatkan caption sebesar baliho iklan di jalan tol bahwa kebudayaan itu milik Indonesia itu sama saja bohong. 5-10 tahun lagi cerita pasti akan berganti. Seperti halnya kita yang kini melihat kebanyakan museum-museum di Indonesia sebagai produk Belanda, maka mata dunia akan melihat mengambil kesimpulan Malaysia lah si pemilik kebudayaan Kerinci.

Itu yang tidak dapat dipahami oleh orang-orang pemerintah pusat maupun daerah. Kita terlalu mabuk sejarah hingga lupa caranya menjaganya.

Tuesday, April 12, 2011

Halo, apa kabar?

Sulit juga mau cerita soal apa di blog kali ini? Yang kini terjadi--kepala dipenuhi ide-ide, metodologi, dan hipotesa tentang skripsi. Alhamdulillah banget saya dikasih ide cemerlang. Tuhan telah menyalakan lampu itu untuk saya. Sekarang tinggal memberikan semangat untuk memulainya.

Kabar kampus?
Akhirnya angkatan 2006 ada juga yang sudah resmi lulus. Sudah ada yang memberikan tanda untuk nyusul. Dan mengejar banyak ketertinggalan dibelakang. Mari berkarya!


2006 yang masih itu-itu aja