Saturday, April 25, 2009

Tegen Stroom

Arus balik. Kalau tidak salah ingat, itu adalah satu judul buku karangan seorang Belanda mengenai teori arus balik. Pagi itu, kurang lebih--2 setengah tahun yang lalu, Pak Pinardi menyebutkannya sebagai salah satu buku yang sangat baik dibaca alias buku bacaan wajib mata kuliah "Arkeologi Hindu-Budha". Ya ampun, itu sudah lama sekali sejak semester awal saya kuliah dan hingga detik ini menyentuh bukunya pun belum pernah saya lakukan. Tapi mengingat bukunya masih 'pure' bahasa Belanda, maka cukup masuk akal kalau saya nggak pernah baca. Wong, bahasa Belanda aja nggak ngerti sama sekali kok. Hehehee..

Mata kuliah Arkeologi Hindu-Budha yang jadi mata kuliah wajib jurusan Arkeologi adalah mata kuliah semester awal yang emang terkenal jadi horor tersendiri buat kami para mahasiswa lugu kala itu. Masa Hindu-Budha, atau biasa disebut oleh kami masa Klasik Indonesia, memang merupakan masa keemasan kemajuan peradaban dan kebudayaan Indonesia di masa lalu. Gimana enggak, masa klasik bisa dibilang masa awal pembangunan kebudayaan di Indonesia untuk mencapai saat sekarang ini. Masa yang dimulai, kurang lebih sejak abad ke-4 Masehi itu banyak meninggalkan tatanan kehidupan manusia Indonesia yang susah banget dilacak hingga saat ini. Masa itu ditandai dengan masuknya kebudayaan India yang kawin dengan kebudayaan lokal sehingga perpaduan dua kebudayaan itu menghasilkan satu kebudayaan yang luar biasa. Banyak banget bangunan candi-candi pemujaan, puluhan batu prasasti yang memuat pajak tanah sima (tanah perdikan), dan ribuan arca-arca beraneka rupa. Banyak yang mesti dihapal dan dipahami. Rekonstruksi kehidupan klasik juga nggak gampang karena bisa dibilang, banyak tatanan kehidupan masa itu sudah hilang sama sekali. Jika masa Klasik Eropa adalah kemegahan kebudayaan Yunani-Romawi, maka Indonesia mempunyai kebudayaan dari masa Hindhu-Budha.

Kenapa? Kenapa mesti masa Hindu-Budha bukannya masa Islam atau masa Kolonial atau bahkan masa kini--abad 21 dengan iPod tersampir di lubang telinga, Blackberry tergenggam kuat di tangan dan internet 24 jam tanpa henti????

Salah satu alasannya adalah masa klasik Indonesia telah menciptakan tatanan kebudayaan yang luar biasa dengan takaran kehidupan saat itu. Belum ada jalan aspal tapi mereka bisa membawa batu-batu turun pegunungan yang jaraknya ribuan kilo, belum ada kertas kalkir tapi mereka sudah membuat blue print di atas daun lontar atau menatah batu, belum ada alat berat dan gilingan semen tapi mereka bisa bikin candi Borobubudur!

Dan satu poin menarik dari teori arus balik adalah penyebutan manusia-manusia Indonesia pada masa lampau itu sebagai local genus. Mereka mencuri ilmu di negeri India tentang keagamaan kala itu, dan menerapkannya dengan cara lokal. Banyak hasil kebudayaan--yang meski bernafaskan agama Hindu-Budha namun berbeda karena kultur lokal yang lebih banyak dimasukkan. Mereka belajar tetapi tidak membajak. Mereka mengambil tapi tidak sama rupa malah jauh lebih kreatif. Lihat saja bentuk arsitektur candi Indonesia yang jauh berbeda dengan candi di India.

Local genus itulah penyebutan sarjana Belanda kepada manusia-manusia masa lampau Indonesia yang telah menciptakan suatu karya budaya yang baru dan namun tidak melupakan akar tradisional. Saya memang berkutat dengan cerita-cerita masa lampau yang seperti itu. Bercermin dari sejarah masa lalu itulah mengapa saya ingin menjadi local genus masa kini. Studi keluar negeri saat ini pastilah tidak sesulit masa lalu. Terbang ke Belanda hanya perlu beberapa jam perjalanan udara bukannya berbulan-bulan dengan kapal layar dan terombang-ambing di laut lepas. Kalo dulu, para sarjana Belanda itu datang Nusantara dengan berkoloni maka saya rasa, saat ini pun kita bisa memulainya.

Bisa dibilang, Belanda adalah salah satu surga untuk belajar arkeologi. Kentalnya hubungan Belanda-Indonesia selama 3, 5 abad bisa dikatakan terjadi pertukaran kebudayaan. Leiden--kota seribu museum, banyak membawa temuan arca-arca dan menyimpannya di museum-museum mereka. Dan demi Bennet Kempres dan Damais yang sudah susah payah merangkum tulisan prasasti Nusantara, saya kepengen membalas mereka dengan merangkum kebudayaan Belanda pula.

Belajar di negeri Belanda, jelas akan jadi tiket saya untuk menuju ke komunitas dunia. Saya ingin menjadi local genus masa kini--mencuri ilmu dan pengalaman bertemu masyarakat kelas dunia agar tidak kalah hebatnya dengan mereka semua.

Wednesday, April 1, 2009

Susur Selokan Mataram

Sabtu pagi, cuaca tampak cerah. Pagi yang benderang menyeruak untuk disambut oleh kami, para Bikers sejati yang haus akan tantangan. Arkeo Genjot kembali akan turun ke jalanan hari itu. Meski beberapa member lama agaknya tidak bisa bergabung namun itu tidak menyurutkan kayuhan kami kali ini. Dan juga, ada tambahan orang-orang baru yang siap menggila di atas sepeda bersama kami. Kak Winda, Mbak Ella, dan Mas Yuliadi turut serta dalam perjalanan kita menyusuri Selokan Mataram.

Start perjalanan dimulai di kost-an Vinsen, sekitar daerah Klebengan. Ini berarti kami memulai perjalanan di pertengahan Selokan Mataram. Kami menuju arah barat yakni menyusuri selokan mataram yang membelah kota Jogjakarta ini. Selokan Mataram merupakan saluran irigasi terbesar dan terpanjang di Jogja yang mengawinkan dua sungai besar, Kali Opak dan Kali Progo. Ada kepercayaan, jika Raja Jawa sanggung menghubungkan kedua sungai tersebut, maka wilayah Jogjakarta akan menjadi daerah yang subur dan makmur. Kepercayaan ini pula yang dijadikan alasan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai dalih agar pemerintah Jepang yang tengah berkuasa saat itu tidak memindahkan para pekerja paksa (Romusha) ke luar daerah Yogyakarta--agar mereka bekerja membangun Selokan Mataram ini. Pembangunan Selokan Mataram dimulai sejak tahun 1944 dengan panjang sekitar 30, 8 km.

Jadi, bisa dikatakan kami telah mengayuh sepeda sejauh angka kilometer tersebut. Wekks, jauh bangettt! Bisa dikatakan ini kayuhan arkeo genjot yang terjauh selama ini. Bisa dibilang kami juga gak nyangka bakalan sejauh ini berjalan. Tapi akhirnya, kami pun sampe tujuan akhir yaitu, di Hulu selokan Van Der Wijick di dusun Macanan, Magelang! Oleh penduduk sekitar, tempat kanal air itu biasa disebut dengan ancol.

Wow, salut juga sama diri sendiri karena kami berhasil menempuh rute antar Provinsi seperti itu. Jalanannya pun relatif landai dan nggak terlalu capek. Dan setiap perjalanan pasti ada tempat yang paling seru, dan itu adalah ketika kita nyebrang bendungan yang cukup lumayan lebar. Daripada memilih jalan memutar akhirnya kami menyebarang sungai tersebut--tentu dengan angkat-jinjing sepeda donk! SERU!!!!

Sip! Arkeo Genjot siap mengayuh lagi!