Jika diibaratkan, bagi seorang arkeolog datang ke Trowulan itu bagaikan naik Haji ke Mekah. Setelahnya datang kesana, pantas sudah jadi seorang arkeolog Indonesia. Akhirnya, saya bisa 'naik haji' itu setelah hampir 6 tahun berkuliah kaki ini bisa menjejakkan langkah ke tempat matahari terasa ada 9 buah membakar bumi.
Trowulan itu bagaikan kota misterius yang samar-samar ada namun terpendam dalam ingatan masa lalu yang terlampau jauh terendapkan. Kota ini, konon katanya megah berdiri bersamaan dengan dongen Majapahit yang berdiri tegak menyatukan nusantara menjadi satu nafas. Trowulan adalah kota kuno yang hadir dalam dongeng para arkeolog tentang sebuah peradaban kuno, rumah-rumah batu bata, gunungan gerabah dan keramik hingga celengan babi yang ikonik.
Road trip ke Trowulan adalah perjalanan 'naik haji' ku yang mengesankan. 2 hari tidak tidur, tidak mandi, tidak cuci muka, tidak ganti baju. Perjalanan padat bersama kawanan antar angkatan tua yang tersisa kini melebur jadi teman seperjalanan yang menyenangkan. Untung saja, aku menjelajah Trowulan ketika kabut masih tebal, udara masih membeku, dan subuh baru saja tiba. Jika tidak mungkin gosong banget muka ini.
CKC (Candi ke Candi) dimulai dari Candi Brahu untuk menyambut mentari terbit, lalu Candi Tikus hingga Candi Bajang Ratu. Sore sebelum pulang, mampir ke kolam segaran tempat anak-anak yang sedang penggalian (proyek ambisius tanpa arah bernama PATI II) membuang temuan keramik biar nggak pusing untuk di analisis.
Mungkin ini adalah trip sebagai mahasiswa ku yang terakhir. Semoga dengan ini jadi arkeolog yang mabrur!
Candi Brahu |
Candi Tikus |
Bajang Ratu |
Konon katanya Kraton dekat Sumur Upas? |
Belum Mandi |