Jika banyak pepatah bilang, hidup dimulai setelah kita keluar dari zona nyaman, itu betul tidak? Zona nyamanku ada di kampus. Tinggal sebagai mahasiswa arkeologi yang punya mimpi-mimpi untuk berpetualang seperti Indiana Jones. Tapi setelah lulus, apakah aku udah keluar dari zona nyaman itu?
Belum juga. Wong kemudian belum ada setahun lulus aku kembali mendaftarkan diri sekolah. Naik tingkat mencoba menjadi master, tapi masih dengan predikat yang sama seperti sebelumnya, mahasiswa.
Berarti, aku masih saja di zona nyaman. Apakah ini berarti aku tidak keluar sama sekali?
Belakangan ini, di kepala selalu kepikiran. Dengan titel sarjana sastra tapi bukan menulis sama sekali keahliannya, melainkan tukang gali tanah.
Ada ketakutan, ada ketidak puasan. Ada rasa ngeri membayangkan. Apalagi semakin sering berinteraksi dengan banyak orang dan mengerjakan berbagai pekerjaan, rasanya titel arkeolog itu seperti mimpi saja.
Aku ingin jadi arkeolog sejati. Tapi, tetap harus kembali ke realita berkutat dengan administrasi dan birokrasi yang membuat kita sulit untuk bergerak. Mau ini itu. Mimpi ini itu. Semua ada batasannya. Seperti zona nyaman itu tadi. Sebuah zona, ya, pasti ada batasnya. Nyaman pun pasti terbatas. Hidup susah pun harus ditinggalkan karena manusia bergerak terus.
Life isn't pretty, though. Banyak hal yang mengecewakan. Berharap itu tidak boleh. Bermimpi mungkin sekarang lebih banyak yang dikuburkan daripada yang diusahakan. Entah mengapa, aku dan teman-teman lain jadi generasi pesimis. Seolah menyandang titel dan bekerja sebagai arkeolog itu hanya akan jadi jalan buntu tanpa arah, tanpa uang, tanpa masa depan.
Apa betul seperti itu?
Kalo gitu, jika aku memulai menata ulang impianku tentang menjadi arkeolog--tidak terlambat bukan? Aku ingin sukses jadi arkeolog, untuk bertanggung jawab pada pilihan pertama dalam hidupku yang kutentukan sendiri. Tanpa campur tangan orang tua. Tanpa campur tangan orang lain. Ketika aku memilih jurusan arkeologi sebagai pilihan pertamaku di universitas, maka itulah tanggung jawab yang harus kubuktikan kepada ibuku, ayah, dan kakak-kakakku. Hidupku bisa bahagia dengan pilihan yang kuambil.
Baiklah. Mari kita ulang lagi kebanggaan kita. Dari awal.