Sunday, December 18, 2011
Life happen: Slug and Clam
Friday, October 14, 2011
Sweetest Surprise
Friday, September 23, 2011
Ketika cerita arkeologis muncul di internet
May 6, 2011 at 7:54 pm, diambil dari Facebook via Notes
Malam ini, seperti biasanya dihabiskan dengan berselancar internet dari satu situs ke situs lain. Disitu lah ketemu artikel di Yahoo! News Indonesia yang cukup menarik karena judulnya agak catchy. "Relief Misterius di Kaki Borobudur". Dari judul ini lah pasti genre tulisannya dibuat populer dengan judulnya yang sangat memenuhi kriteria tulisan ilmiah-populer: membuat orang penasaran untuk membaca lebih lanjut.
Kebetulan pula saya kuliah di bidang purbakala ini tentunya niat baik untuk menambah refrensi perkuliahan donk Isi artikelnya menarik--bercerita tentang relief Karmawibhangga yang ditutup. Sang penulis bercerita ada 2 versi mengenai penutupan relief tersebut, pertama persoalan teknis dan kedua adanya anggapan relief tersebut menampilkan adegan vulgar. Hingga akhirnya dia tidak memutuskan yang mana yang menyebabkan penutupan itu terjadi. Pun si penulis menuliskan sedikit sejarah konservasi ketika jaman Belanda dan dokumentasi mengenai relief Karmawibhangga yang dilakukan oleh pihak Belanda. Sejauh itu tidak ada masalah dari artikel tersebut buat saya. Well, itu masalah familiar yang sudah sering didiskusikan kala kuliah klasik Hindu-Budha. Buat saya si penulis cukup dapat memberikan info yang berguna dan sedikit mengangkat dunia purbakala dengan bumbu-bumbu seperti judul yang agak mistis. Buat saya nggak masalah.
Namun, saya langsung terperangah tatkala membaca rentetan komentar-komentar mengenai artikel tersebut. Komentarnya cukup banyak, yaitu sekitar 80-an, yang saya rasa jarang ada lho orang banyak berkomentar di sebuah artikel purbakala. Ternyata oh ternyata komentar mereka malah jauh dari diskusi yang saya bayangkan. Banyak yang bicara cerdas dari sisi logis namun lebih banyak lagi yang komentar ngarang. Selalu ada orang iseng diantara forum. Muntahlah segala komentar tentang agama, murtad, pornografi, hingga FPI. Caci maki diantara user terjadi. Aiiihhhh bikin ngakak aja!
Kalau saya jadi si penulis artikel, saya cuma bisa geleng-geleng karena esensi dari apa yang saya tulis malah jadi salah kaprah. Namun, begitulah jika memasuki ranah dunia menulis kreatif suatu karya-ilmiah-populer. Apalagi jika dilempar ke zona bebas seperti internet. Orang asal bicara, orang asal komentar, lebih parah lagi orang asal ngaco. Diskusi cerdas pun hanya mimpi. Dan seperti melihat cerminan 80% mental orang Indonesia (termasuk saya) yaitu sukanya menyalahkan tanpa tahu keadaannya dan mistis tentu saja!
Sejurus kemudian baru saya sadari, jangan-jangan persepsi orang selama ini adalah dunia purbakala itu berasosiasi dengan segala macam hal mistis dan pornografi (?) cuman karena arca-arca yang sangat represntatif itu? Karena dari membicarakan relief bisa-bisanya menyambung ke hal cabul, mistis bahkan SARA. Saya cuman bisa geleng-geleng kepala saja. Sambil ngakak juga bacanya. Ada-ada saja ini..
Friday, May 27, 2011
Thursday, May 26, 2011
Pilihan
Wednesday, April 13, 2011
Museum Adalah Alat
Apakah ini, lagi-lagi, suatu kegagalan pemerintah untuk menjaga kebudayaan materi dan historis bangsa? Jika meniliki alur yang jauh lebih panjang ke belakang--Indonesia memang masih memiliki rumpun melayu yang sama dengan Malaysia. Terlebih lagi bagi masyarakat di kepulauan Sumatera yang secara geografis berdekatan dengan Negeri Jiran tersebut. Tidak menyangkal pula bahwa pada masa lalu, dimana garis batas negara imajiner tersebut belum ada, masyarakat di seputaran selat Malaka memiliki akar kebudayaan yang hampir serupa. Baik adat istiadat, hasil kerajinan, bahasa dan lain sebagainya. Sehingga pun hingga sekarang Malaysia masih merasa kebudayaan tersebut juga mereka kebudayaan milik mereka. Ibaratnya, Indonesia dan Malaysia itu 2 sodara yang sekarang terpisah oleh garis batas arbiter penjajahan di awal abad ke-17 tersebut.
Namun--meski kebudayaan kita serupa namun tak sama, seharusnya ada penghormatan terhadap garis batas kenegaraan. Urusan ini memang tidak besar seperti pengambilan pulau Ambalat beberapa tahun silam. Namun jika pemerintah Indonesia tidak mampu melindungi BCB yang telah bergerak ke seberang lautan tersebut maka jangan salahkan deh kalau bahkan rakyatnya sendiri tidak percaya kalau Indonesia ini mampu jadi sebuah negara.
Alasannya, bagi yang tidak mengetahui, museum adalah alat politik. Jika berpikir Museum hanyalah sebagai wadah, sarana penyimpanan benda-benda kuno saja, maka sebaiknya anda ikut kuliah Museologi dan belajar lebih banyak lagi soal arkeologis--karena anda bego! Pada era kolonialisasi, pemerintah Hindia-Belanda banyak sekali membangun museum-museum di kota besar kala itu. Mereka akan membangun museum dengan peta yang besar, data etnografis berbagai suku di Indonesia dan sensus penduduk yang tinggal di dalamnya. Museum juga turut menyimpan berbagai macam artefak-artefak berharga--yang kini banyak diboyong ke Leiden. Pemerintah Hindia-Belanda membangun museum--selain sebagai pusat pembelajaran mengenai daerah jajahan mereka, juga sebagai legitimasi kekuasaan mereka terhadap Indonesia. Museum adalah alat politik mereka untuk menyatakan kepada negara-negara barat lainnya (Inggris, Prancis) bahwa mereka menguasai daerah tersebut. Maka pemerintah Hindia-Belanda merasa memiliki hak untuk memboyong kebudayaan Indonesia keluar dari garis batas negara. Namun masih tetap dalam negara yang sama (Pemerintahan Ratu Belanda dengan negara jajahan Hindia-Belanda).
Museum sebagai legitimasi kebudayaan. Maka, jika Malaysia membangun museum dengan kebudayaan Kerinci di negara Malaysia--yang berarti melewati garis batas negara bisa dikatakan kita tidak punya legitimasi atas kebudayaan tersebut. Meski pun apabila nanti pemerintah dijanjikan dibuatkan caption sebesar baliho iklan di jalan tol bahwa kebudayaan itu milik Indonesia itu sama saja bohong. 5-10 tahun lagi cerita pasti akan berganti. Seperti halnya kita yang kini melihat kebanyakan museum-museum di Indonesia sebagai produk Belanda, maka mata dunia akan melihat mengambil kesimpulan Malaysia lah si pemilik kebudayaan Kerinci.
Itu yang tidak dapat dipahami oleh orang-orang pemerintah pusat maupun daerah. Kita terlalu mabuk sejarah hingga lupa caranya menjaganya.
Tuesday, April 12, 2011
Halo, apa kabar?
Kabar kampus?
Akhirnya angkatan 2006 ada juga yang sudah resmi lulus. Sudah ada yang memberikan tanda untuk nyusul. Dan mengejar banyak ketertinggalan dibelakang. Mari berkarya!
2006 yang masih itu-itu aja